Pendahuluan
Masyarakat nelayan di Indonesia sampai
saat ini masih tergolong masyarakat miskin, ironisnya mereka hidup di wilayah
pesisir dan lautan Indonesia yang kaya akan keanekaragaman sumberdaya alamnya,
baik yang dapat pulih seperti perikanan, hutan mangrove dan terumbu karang,
maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih seperti minyak bumi, gas dan barang
tambang lainnya. (Wahyono SK 2009, hlm. 92-93) Komunitas nelayan yang berjumlah
kira-kira empat juta rumah tangga hingga kini masih tergolong miskin. Hal ini
tampak dari indikasi-indikasi berupa pendapatan per kapita per bulan yang masih
berkisar antara Rp 300.000 sampai Rp 400.000, tingkat pendidikan rata-rata
sekolah dasar, dan pemukiman yang kumuh. (Sudirman Saad 2004, hlm. 25. Arif
Satria 2009, hlm. ix)
Semenjak kemerdekaan, pemerintah
Republik Indonesia telah berupaya untuk memperbaiki keadaan ini. Hal ini nyata
dalam berbagai wacana politik ekonomi perikanan dan kelautan seperti perjuangan
Konsep Negara Kepulauan (archipelago) melalui Deklarasi
Juanda Desember 1957 dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang diikuti dengan pencanangan sektor
perikanan sebagai salah satu arus-utama (mainstream) pembangunan
nasional. Konsep Negara Kepulauan kemudian dikukuhkan dengan UU Nomor 4 Prp.
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, yang diikuti Keppres Nomor 103
Tahun 1963 untuk memberikan pengertian lebih luas tentang
lingkungan maritim. UU No. 4/1960 ini tidak hanya memperkokoh konsep
wawasan nusantara, tetapi juga menguntungan bagi perikanan nasional karena
secara prinsip kapal ikan asing tidak dibenarkan beroperasi di dalam lingkungan
maritim Indonesia. (Budi Harsono 2003, hlm. 6)
UUPA dalam Pasal 16 Ayat 2 huruf b
memperkenalkan Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, yang menurut Pasal
47 Ayat 2 akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Sayangnya,
peraturan pemerintah dimaksud belum atau tidak ditetapkan sampai saat ini dan
juga tidak menjadi acuan lahirnya UU Nomor 9 Tahun 1985 maupun UU Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan. (Suadi 2006, hlm. 18) Hak atas sumberdaya
ikan mempunyai akar sejarah dalam tradisi masyarakat pesisir Indonesia,
walaupun sebagian besar tidak berdaya atau hilang karena berbagai perangkat
kebijakan nasional. Padahal, Pemerintah Kolonial Belanda saja pernah menguatkan
tradisi ini dalam ketentuan Territoriale Zee en Maritene Kringen Ordonantie
(TZMKO) 1939 untuk melindungi nelayan dan konservasi sumberdaya ikan. (Ibid,
hlm. 21)
Secara umum, pertumbuhan perikanan
dalam kurun 50 tahun terakhir (1951-2001) cukup dinamis. Pertumbuhan yang
tinggi selama periode 1959-1965 diperkirakan tidak terlepas dari upaya untuk
mendorong perikanan sebagai salah satu penggerak ekonomi, walaupun
produktivitas perikanan secara nominal cenderung menurun. Pertumbuhan produksi
yang tinggi selama Orde Baru terjadi pada era pertengahan 1970-an sampai
awal 1980-an akibat pesatnya motorisasi perikanan yang mencapai rata-rata di
atas 15 persen per tahun. Pertumbuhan ini sayangnya harus dibayar dengan
berbagai konflik antara usaha perikanan skala besar dan skala kecil
sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Pertumbuhan produksi dua periode
terakhir Orde Baru semakin mengkhawatirkan karena nelayan tumbuh melampaui
produksi perikanan. Pertumbuhan produtivitas nelayan pun negatif dalam dua
periode ini —masing-masing -0,3 persen. Periode 1999-2001 juga tidak terlalu
berbeda jauh. Gambaran ini menguatkan dugaan bahwa sumberdaya ikan semakin
terbatas untuk pertumbuhan ekonomi pesisir secara berkelanjutan. (Ibid,
hlm. 19)
Pengelolaan sumberdaya ikan sehingga
kini acapkali melulu menggunakan pendekatan biologis yang bertumpu pada
berbagai spesies ikan sebagai organisme hidup. Satu hal yang sering dilupakan
dalam pendekatan ini adalah terabaikannya aspek perilaku nelayan dalam
mengalokasikan atau mengoperasikan alat tangkap. Sebagai mega-predator, nelayan
mempunyai perilaku yang sangat unik dalam merespon baik perubahan sumberdaya
ikan, iklim, maupun kebijakan pemerintah. Kebijakan pembatasan upaya
penangkapan tanpa dibarengi dengan antisipasi terhadap perilaku nelayan dalam
merespon setiap perubahan baik internal maupun eksternal telah menggagalkan
upaya untuk mewujudkan keberlanjutan dalam sektor perikanan. Perlu
disadari bahwa sesungguh-nya pengelolaan sumberdaya ikan bukanlah mengatur ikan
itu sendiri semata, melainkan —justru yang lebih penting— bagaimana
mengantisipasi perilaku nelayan sehingga sejalan dengan kebijakan yang
diterapkan. (Eko Sri Wiyono 2005, hlm. 26)
Masalah berlebihnya alat penangkapan
ikan khususnya di perairan pesisir pantai adalah masalah yang kompleks dan
penting untuk segera dicarikan pemecahannya. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang
tidak terkendali di beberapa wilayah perairan telah menyebabkan degradasi yang
sangat tajam pada stok sumberdaya ikan dan ekologi perairan. Banyaknya alat
tangkap baik dalam jenis maupun jumlahnya yang terkonsentrasi di pantai
diyakini telah mendorong tingginya tekanan penangkapan dan kompetisi antar
nelayan. Di sisi lain, nasib nelayan sebagai pelaku utama dalam perikanan belum
juga terentaskan. Bertambahnya nelayan yang tidak terkontrol di beberapa
wilayah perairan ditengarai telah melampaui batas maksimum, akibatnya hampir 80
persen perikanan Indonesia didominasi oleh perikanan skala kecil yang
beroperasi di wilayah pesisir di mana konflik dan degradasi paling dominan
terjadi. (Ibid, hlm. 27)
Dalam keadaan seperti ini, penguatan
partisipasi masyarakat untuk mengimbangi peran negara dan pasar menjadi
mendesak untuk dikedepankan. Nelayan Indonesia yang kebanyakan miskin telah
tercerabut hak-haknya untuk ikut mengelola laut (management right), dan
baru diberi hak akses (access right) dan hak menangkap (withdrawal
right) saja. Laut tidak semata-mata merupakan sebuah sistem ekologi, tetapi
juga sistem sosial. Oleh karena itu, pengembangan kelautan dengan memperhatikan
sistem ekologi-sosial mereka yang khas menjadi penting. Sudah saatnya nelayan
sebagai pelaku utama usaha perikanan dan salah satu pilar bangsa bahari mendapatkan
kembali hak-haknya dengan pengakuan melalui hukum positif, yang dengan
pengetahuan ekologi tradisional mereka mampu menyelenggarakan usaha perikanan
yang efektif dan efisien sehingga pada gilirannya mendorong tumbuhnya ekonomi
pesisir. (Arif Satria 2006, hlm. 2)
Keterbatasan modal, rendahnya tingkat
pengetahuan dan keterampilan serta teknologi dianggap sebagai masalah kronis
sektor perikanan tradisional. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut
pendekatan yang selalu ditawarkan adalah melakukan kerjasama atau
kemitraan antar pelaku yakni nelayan, pemerintah dan swasta. Dengan
mempertimbangkan karakteristik masyarakat nelayan khususnya aspek ekonomi,
maka dalam pola kemitraan sumber pendanaan sebaiknya terkonsentrasi kepada
mitra usaha yakni swasta sebagai inti dan tidak dibebankan kepada masyarakat
yang akan bertindak sebagai plasma. Melalui skema demikian maka kedua mitra
akan mempunyai tanggung-jawab dan kewajiban yang jelas dan proposional sehingga
terdorong untuk mengembangkan usaha secara bersama pula. Implikasi penting
lainnya melalui skema tersebut diharapkan kemitraan akan memberikan manfaat
yang lebih luas dan tidak terkonsentrasi pada satu pihak tertentu, dalam arti,
kebijakan pengembangan akan mempunyai dampak ekonomi positif terhadap seluruh
pelaku swasta, pemerintah, masyarakat serta mendorong tumbuhnya aktivitas
ekonomi sebagi pendukung kegiatan utama. (DKP RI 2005, hlm. 6)
Namun demikian, pendekatan yang belum
pernah dicoba dengan serius adalah pemberian hak yang jelas kepada nelayan perikanan
pantai untuk melakukan aktivitasnya melalui mekanisme hak penangkapan
ikan (fishing right). Dalam konteks ini, pemberian hak penangkapan
ikan harus mempertimbangkan kepada siapa hak tersebut diberikan. Oleh karena
itu, definisi nelayan perlu pula direvitalisasi sehingga menghasilkan
nelayan yang profesional dan bukan sekadar penumpang gelap (free rider),
yang menjadi ciri utama pelaku perikanan dalam rezim akses terbuka (open
access). Uji kelayakan terhadap nelayan tidak berorientasi hanya kepada pertimbangan
ekonomi saja, tetapi terpenting pada pertimbangan komunitas sehingga menjamin
keberlanjutan perikanan. (Luky Adrianto 2006, hlm. 26) Definisi nelayan
menjadi faktor penting karena pemerintah masih memegang hak pengelolaan di mana
salah satu implementasinya adalah menentukan persyaratan bagi pihak-pihak yang
akan mendapatkan hak akses dan hak pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sejauh
ini, rezim perikanan di Indonesia masih bersifat akses semi-terbuka (quasi
open access) sehingga membuat profesi nelayan dianggap sebagai pilihan mata
pencarian terakhir (last resort for employment). Dengan pendefinisian
nelayan yang tegas dan disesuaikan dengan karakteristik nelayan Indonesia,
profesi nelayan dapat terjaga kemurniannya. Jepang, misalnya, adalah negara
yang membatasi jumlah nelayan melalui pemberlakuan definisi nelayan sebagaimana
ditentukan dalam UU Koperasi Perikanannya. Menurut Undang-undang ini, nelayan
didefinisikan sebagai orang yang aktif menangkap ikan minimal 92 hari per
tahun. (Ibid, hlm. 28)
Sementara itu, ketidakjelasan persepsi
tentang apa yang disebut sebagai ‘nelayan tradisional’ dalam kebijakan
perikanan Indonesia mengakibatkan, misalnya, ketegangan antara Indonesia dan
Australia. Melalui kesepakatan yang dikenal dengan MoU Box 1974, kedua
negara sepakat mengakomodasi nelayan tradisional untuk menangkap ikan di
wilayah tertentu di Australia. Untuk itu, pihak Indonesia beranggapan bahwa
nelayan Indonesia yang telah turun-temurun menangkap ikan di wilayah itu
sebagai nelayan tradisional. Akan tetapi, pihak Australia beranggapan bahwa
nelayan yang umumnya memiliki kapal bermotor, peralatan tangkap, navigasi, dan
komunikasi yang dianggap maju itu, tidak dapat lagi dikategorikan sebagai
nelayan tradisional. Pihak Australia menengarai nelayan Indonesia yang memasuki
wilayah Australia lebih berorientasi komersial dengan target sirip hiu dan
berbagai spesies lain yang bernilai jutaan dolar. Perbedaan persepsi ini
berujung pada berbagai insiden penangkapan terhadap nelayan tradisional
Indonesia di perairan Australia. (M. Zulficar Mochtar 2006, hlm. 30)
Dalam kondisi yang masih carut-marut
demikian, suatu penyelidikan mendasar terhadap arah dan paradigma pembangunan
perikanan nasional Indonesia menjadi mendesak untuk dilaksanakan atas dasar
alasan sebagai berikut. Pertama, pembangunan perikanan nasional
Indonesia telah dilaksanakan lebih dari setengah abad tetapi nelayan tidak
kunjung membaik keadaan hidupnya, bahkan semakin memburuk. Kedua, baik
UU No. 9/1985 maupun UU No. 31/2004 jo. UU No. 45/2009 tidak pernah
menyebut-nyebut UUPA yang sesungguhnya merupakan pokok pengaturan pemanfaatan
sumberdaya alam nasional termasuk sumberdaya ikan, padahal sudah jelas di
dalamnya disebut tentang ruang lingkup keberlakuan Undang-undang itu. Ketiga,
UUPA khususnya dalam hal pengelolaan sumberdaya ikan belum pernah mendapatkan
kesempatan yang memadai untuk membuktikan kemanjuran paradigmanya dalam
mewujudkan kesejahteraan rakyat khususnya nelayan.
Pokok permasalahan yang harus dikupas
karena itu adalah; Pertama, masalah-masalah mendasar yang terdapat dalam
kebijakan pembangunan perikanan nasional dewasa ini; Kedua, paradigma
UUPA mengenai pengelolaan sumberdaya ikan; dan, Ketiga, model
pengelolaan perikanan yang sesuai dengan paradigma UUPA. Tulisan ini secara
umum bertujuan untuk mencari kejelasan mengenai keberadaan hak pemeliharaan dan
penangkapan ikan sebagai salah satu bentuk hak perorangan atas permukaan bumi
sebagaimana diatur dalam UUPA, dalam kebijakan perikanan nasional Indonesia
yang dewasa ini terwujud, antara lain, dalam UU No. 31/2004 jo. UU No. 45/2009
dan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Secara khusus, tulisan ini bertujuan untuk; Pertama,
Memaparkan konsep kebijakan pembangunan perikanan nasional mengenai pemanfaatan
dan pelestarian sumberdaya ikan serta pengelolaan perikanan. Kedua,
menyelidiki paradigma UUPA mengenai pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya ikan
serta pengelolaan perikanan. Ketiga, mengemukakan model pengelolaan
perikanan yang sesuai dengan paradigma UUPA.
Dalam tulisan ini digunakan beberapa
istilah yang batasan pengertiannya sebagai berikut. Ikan adalah “segala
jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam
lingkungan perairan,” (UU No. 31/2004, Pasal 1 Angka 4) yang dalam hal ini
mencakup organisme-organisme yang tidak termasuk dalam kelas pisces
seperti berbagai jenis mollusca, crustacea, echinodermata,
coelenterata, dan mammalia. Sedangkan yang dimaksud dengan Perikanan
adalah,
“semua kegiatan yang
berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.” (Ibid,
Pasal 1 Angka 1)
Sumberdaya Ikan dalam tulisan ini
dipahami sebagai “potensi semua jenis ikan,” (Ibid, Pasal 1 Angka 2)
sedangkan Pengelolaan Perikanan adalah,
“…semua upaya,
termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan
untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan
yang telah disepakati.” (Ibid, Pasal 1 Angka 7)
Nelayan adalah “orang yang
mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.” (Ibid, Pasal 10-13) UU
No. 31/2004 membedakan antara “nelayan” dan “nelayan kecil”, di mana yang
belakangan melakukannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Definisi ini
kemudian direvisi, di mana “nelayan kecil” dipahami sebagai “orang yang mata
pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima)
gross ton (GT).” (UU No. 45/2009, Pasal I) Undang-undang tersebut juga
mengenal definisi tentang pembudidaya ikan, yakni orang yang mata
pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan, dan “pembudidaya-ikan kecil”, yang
sejalan dengan pengertian nelayan kecil. Akan tetapi, dalam penelitian ini
fokus akan berada pada nelayan yang melakukan usaha perikanan tangkap, bukan
budidaya, dalam berbagai skala usaha. Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan adalah
hak yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum, yang
memberi wewenang untuk mempergunakan permukaan air dan kekayaan yang terkandung
di dalamnya, yakni ikan, sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan kekayaan itu dalam batas-batas menurut UUPA dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. (UUPA, Pasal 16 Ayat 2 huruf
b jo. Pasal 4 Ayat 3. Budi Harsono 2003, hlm. 7) Sejalan dengan fokus
pada nelayan yang melakukan usaha perikanan tangkap, penekanan juga diberikan
lebih pada Hak Penangkapan Ikan.
Secara garis besar, tulisan ini akan
disusun dalam tiga bagian sebagai berikut. Setelah dibuka dengan Pendahuluan, Bagian
Pertama akan membahas tentang masalah-masalah mendasar dalam paradigma
pembangunan perikanan nasional indonesia dewasa ini dalam suasana neoliberal,
yang ditengarai sebagai penerapan rezim akses terbuka yang meminggirkan
nelayan kecil, kontradiksi tujuan pembangunan perikanan antara peningkatan
taraf hidup nelayan dan peningkatan penerimaan negara, dan pemencilan negara
dari pengelolaan sumberdaya ikan untuk kesejahteraan rakyat. Bagian Kedua
mengulas paradigma UUPA mengenai kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam
nasional indonesia, yang akan menyelidiki bagaimana Undang-undang tersebut
mengonsepkan hak pemeliharaan dan penangkapan ikan pada Pasal 16 Ayat 2 dalam
keseluruhan kerangka paradigmanya tentang pengelolaan sumberdaya alam nasional.
Dalam bagian ini akan dibahas mengenai kepemilikan atas sumberdaya alam dalam
wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia, sendi-sendi pokok pengelolaan
sumberdaya alam nasional Indonesia, dan kepemimpinan negara dalam pengelolaan
sumberdaya alam nasional Indonesia. Bagian Ketiga menjajaki kemungkinan
penerapan paradigma UUPA dalam pengelolaan sumberdaya ikan dan perikanan
nasional indonesia, berupa model pemanfaatan sumberdaya ikan dan pengelolaan
perikanan yang konsekuen dengan paradigma Undang-undang tersebut, yakni
struktur hak atas sumberdaya ikan di perairan Indonesia dan implikasi
pengelolaannya, konsistensi keberpihakan pada tujuan peningkatan kesejahteraan
masyarakat nelayan Indonesia, dan negara sebagai petugas bangsa dalam
mewujudkan tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan Indonesia.
Akhirnya, dalam Penutup akan diberikan berbagai simpulan dan saran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar