UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31
TAHUN 2004
TENTANG
PERIKANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa perairan yang berada di bawah kedaulatan
dan yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia serta laut lepas berdasarkan ketentuan internasional, mengandung
sumber daya ikan dan lahan pembudidayaan ikan yang potensial, merupakan berkah
dari Tuhan Yang Maha Esa yang diamanahkan pada Bangsa Indonesia yang memiliki
Falsafah Hidup Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk dimanfaatkan
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia;
b. bahwa dalam rangka
pelaksanaan pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara, pengelolaan
sumber daya ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan
pemerataan dalam pemanfaatannya dengan mengutamakan perluasan kesempatan kerja
dan peningkatan taraf hidup bagi nelayan, pembudi daya ikan, dan/atau
pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan perikanan, serta terbinanya
kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang berlaku
hingga sekarang belum menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan
kurang mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan
teknologi dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dan oleh karena itu perlu
diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Perikanan untuk mengganti
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan
Bersama
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERIKANAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perikanan
adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan
sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
2. Sumber daya
ikan adalah potensi semua jenis ikan.
3. Lingkungan
sumber daya ikan adalah perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk
biota dan faktor alamiah sekitarnya.
4. Ikan adalah
segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada
di dalam lingkungan perairan.
5. Penangkapan
ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan
kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
dan/atau mengawetkannya.
6. Pembudidayaan
ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan
serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani,
mengolah, dan/atau mengawetkannya.
7. Pengelolaan
perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan,
alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau
otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber
daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
8. Konservasi
sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber
daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan,
ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.
9. Kapal
perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk
melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan
ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/
eksplorasi perikanan.
10. Nelayan adalah
orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
11. Nelayan
kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
12. Pembudi
daya ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan.
13. Pembudi
daya-ikan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan
ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
14. Setiap
orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
15. Korporasi
adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.
16. Surat izin
usaha perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis yang harus
dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan
menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.
17. Surat izin
penangkapan ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis yang
harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP.
18. Surat izin
kapal pengangkut ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI, adalah izin tertulis
yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan.
19. Laut
teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang
diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
20. Perairan
Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan
perairan pedalamannya.
21. Zona
ekonomi eksklusif Indonesia, yang selanjutnya disebut ZEEI, adalah jalur di
luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan
berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi
dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua
ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
22. Laut lepas
adalah bagian dari laut yang tidak termasuk
dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan
perairan pedalaman Indonesia.
23. Pelabuhan perikanan adalah
tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas
tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis
perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh,
dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran
dan kegiatan penunjang perikanan.
24. Menteri adalah menteri yang
bertanggung jawab di bidang perikanan.
25. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
26. Pemerintah Daerah adalah
Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Asas dan Tujuan
Pasal 2
Pengelolaan
perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan,
keterpaduan, keterbukaan, efisiensi,
dan kelestarian yang berkelanjutan.
Pasal 3
Pengelolaan
perikanan dilaksanakan dengan tujuan:
a. meningkatkan
taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil;
b. meningkatkan
penerimaan dan devisa negara;
c. mendorong
perluasan dan kesempatan kerja;
d. meningkatkan
ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan;
e. mengoptimalkan
pengelolaan sumber daya ikan;
f. meningkatkan
produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing;
g. meningkatkan
ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan;
h. mencapai
pemanfataan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan
i. menjamin
kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.
BAB II
RUANG LINGKUP
a. setiap orang, baik
warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan badan hukum Indonesia
maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
b. setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan
kapal perikanan berbendera asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
c.
setiap kapal perikanan berbendera
Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia; dan
d.
setiap kapal perikanan berbendera
Indonesia yang melakukan penangkapan ikan, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama, dalam bentuk kerja sama dengan pihak asing.
BAB III
WILAYAH PENGELOLAAN
PERIKANAN
(1) Wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi:
a. perairan
Indonesia;
b. ZEEI; dan
c. sungai, danau, waduk, rawa, dan
genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang
potensial di wilayah Republik Indonesia.
(2) Pengelolaan perikanan di luar wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau
standar internasional yang diterima secara umum.
BAB IV
PENGELOLAAN
PERIKANAN
Pasal 7
(1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan
sumber daya ikan, Menteri menetapkan:
a. rencana
pengelolaan perikanan;
b. potensi dan
alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
c. jumlah
tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia;
d. potensi dan
alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia;
e. potensi dan
alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia;
f. jenis,
jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
g. jenis,
jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;
h. daerah,
jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
i. persyaratan
atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;
j. sistem
pemantauan kapal perikanan;
k. jenis ikan
baru yang akan dibudidayakan;
l. jenis ikan
dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya;
m. pembudidayaan
ikan dan perlindungannya;
n. pencegahan
pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya;
o. rehabilitasi
dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya;
p. ukuran atau
berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
q. suaka
perikanan;
r. wabah dan
wilayah wabah penyakit ikan;
s. jenis ikan
yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari
wilayah Republik Indonesia; dan
t. jenis ikan
yang dilindungi.
(2) Setiap orang yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai:
a. jenis,
jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
b. jenis,
jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;
c. daerah,
jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
d. persyaratan
atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;
e. sistem
pemantauan kapal perikanan;
f. jenis ikan
baru yang akan dibudidayakan;
g. jenis ikan
dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya;
h. pembudidayaan
ikan dan perlindungannya;
i. pencegahan
pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya;
j. ukuran atau
berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
k. suaka
perikanan;
l. wabah dan
wilayah wabah penyakit ikan;
m. jenis ikan
yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari
wilayah Republik Indonesia; dan
n. jenis ikan
yang dilindungi.
(3) Menteri
menetapkan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan huruf c setelah mempertimbangkan rekomendasi dari
komisi nasional yang mengkaji sumber daya ikan.
(4) Komisi
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh Menteri dan
beranggotakan para ahli di bidangnya yang berasal dari lembaga terkait.
(5) Menteri
menetapkan jenis ikan dan kawasan perairan yang masing-masing dilindungi,
termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.
(6) Dalam
rangka mempercepat pembangunan perikanan, pemerintah membentuk dewan
pertimbangan pembangunan perikanan nasional yang diketuai oleh Presiden, yang
anggotanya terdiri atas menteri terkait, asosiasi perikanan, dan perorangan
yang mempunyai kepedulian terhadap pembangunan perikanan.
(7) Ketentuan
lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja dewan pertimbangan
pembangunan perikanan nasional sebagai-mana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
Pasal 8
(1) Setiap orang dilarang melakukan penangkapan
ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat
merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
(2) Nakhoda
atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang melakukan penangkapan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
dapat merugikan dan/ atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
(3) Pemilik
kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan
perikanan, dan/atau operator kapal perikanan dilarang menggunakan bahan kimia,
bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia.
(4) Pemilik
perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan,
dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang melakukan usaha
pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia.
(5)
Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperbolehkan hanya untuk penelitian.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,
dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 9
Setiap
orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan di kapal penangkap ikan
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia:
a. alat penangkapan ikan dan/atau alat
bantu penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan;
b. alat penangkapan ikan yang tidak
sesuai dengan persyaratan atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat
tertentu; dan/atau
c. alat penangkapan ikan yang dilarang.
Pasal 10
(1) Untuk kepentingan kerja sama
internasional, Pemerintah:
a.
dapat
memublikasikan secara berkala hal-hal yang berkenaan dengan langkah konservasi
dan pengelolaan sumber daya ikan;
b.
bekerja
sama dengan negara tetangga atau dengan negara lain dalam rangka konservasi dan
pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas, laut lepas yang bersifat tertutup,
atau semi tertutup dan wilayah kantong;
c.
memberitahukan
serta menyampaikan bukti-bukti terkait kepada negara bendera asal kapal yang
dicurigai melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan dalam konservasi
dan pengelolaan sumber daya ikan.
(2)
Pemerintah ikut serta secara aktif dalam keanggotaan
badan/ lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerja sama pengelolaan perikanan
regional dan internasional.
Pasal 11
(1) Setiap
orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia.
(2) Setiap
orang dilarang membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan,
lingkungan sumber daya ikan, dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia.
(3) Setiap
orang dilarang membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat
membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan, dan/atau kesehatan
manusia di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
(4)
Setiap orang dilarang menggunakan obat-obatan dalam
pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber
daya ikan, dan/atau
kesehatan manusia di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1) Dalam
rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem,
konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan.
(2)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan
konservasi genetika ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
(1)
Pemerintah mengatur dan/atau mengembangkan
pemanfaatan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan dalam rangka
pelestarian ekosistem dan pemuliaan sumber daya ikan.
(2) Setiap orang wajib melestarikan
plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.
(3) Pemerintah mengendalikan pemasukan
ikan jenis baru dari luar negeri dan/atau lalu lintas antarpulau untuk menjamin
kelestarian plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.
(4) Setiap orang dilarang merusak plasma
nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.
(5)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pemanfaatan dan pelestarian plasma nutfah sumber daya
ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
Pemerintah
mengatur pemasukan dan/atau pengeluaran, jenis calon induk, induk, dan/atau
benih ikan ke dalam dan dari wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
Pasal 16
(1) Setiap
orang dilarang memasukkan,
mengeluarkan mengadakan, mengedarkan,
dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber
daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran, dan/atau
pemeliharaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 17
Pemerintah
mengatur dan mengembangkan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan
dalam rangka pengembangan pembudidayaan ikan.
Pasal 18
(1) Pemerintah
mengatur dan membina tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan.
(2) Pengaturan
dan pembinaan tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam rangka menjamin kuantitas dan kualitas
air untuk kepentingan pembudidayaan ikan.
Pasal
19
(1) Pemerintah
menetapkan persyaratan dan standar alat pengangkut, unit penyimpanan hasil
produksi budi daya ikan, dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
(2) Pemerintah
melakukan pengawasan terhadap alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi
budi daya ikan, dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
(3) Pemerintah
dan masyarakat melaksanakan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai persyaratan dan standar serta pengawasan alat pengangkut,
unit penyimpanan hasil produksi budi daya ikan, dan unit pengelolaan kesehatan
ikan dan lingkungannya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta
pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
20
(1) Proses pengolahan ikan dan produk perikanan
wajib memenuhi persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan
keamanan hasil perikanan.
(2) Sistem jaminan
mutu dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri
atas subsistem:
a. pengawasan
dan pengendalian mutu;
b. pengembangan
dan penerapan persyaratan atau standar bahan baku, persyaratan atau standar
sanitasi dan teknik penanganan serta pengolahan, persyaratan atau standar mutu
produk, persyaratan atau standar sarana dan prasarana, serta persyaratan atau
standar metode pengujian; dan
c. sertifikasi.
(3) Setiap
orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan wajib memenuhi dan
menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan
keamanan hasil perikanan.
(4) Setiap
orang yang memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memperoleh Sertifikat Kelayakan Pengolahan.
(5) Setiap
orang yang memenuhi dan menerapkan persyaratan penerapan sistem jaminan mutu
hasil perikanan, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memperoleh Sertifikat
Penerapan Program Manajemen Mutu Terpadu.
(6) Ikan hasil
penangkapan dan/atau pembudidayaan harus memenuhi standar mutu dan keamanan
hasil perikanan.
(7) Produk
hasil pengolahan perikanan harus memenuhi persyaratan dan/atau standar mutu dan
keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
(8) Industri
pengolahan ikan yang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
Setiap
orang yang melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan
dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia harus melengkapinya dengan
sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia.
Pasal 22
Ketentuan
lebih lanjut mengenai sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan,
sertifikat kelayakan pengolahan, sertifikat penerapan manajemen mutu terpadu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dan sertifikat kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Setiap
orang dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong,
dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam
melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan.
(2) Pemerintah
menetapkan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat
yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 24
(1) Pemerintah
mendorong peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan.
(2) Pemerintah
dapat membatasi ekspor bahan baku industri pengolahan ikan untuk menjamin
ketersediaan bahan baku tersebut di dalam negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dan jaminan ketersediaan bahan baku industri pengolahan ikan di dalam
negeri serta pembatasan ekspor bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
USAHA PERIKANAN
Pasal 25
Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.
Pasal 26
(1) Setiap
orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIUP.
(2) Kewajiban
memiliki SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi nelayan
kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil.
Pasal 27
(1) Setiap
orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
Indonesia yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib memiliki
SIPI.
(2) Setiap
orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
asing yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIPI.
(3) SIPI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.
(4) Kapal
penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah
yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari
Pemerintah.
Pasal 28
(1) Setiap
orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib
memiliki SIKPI.
(2) SIKPI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.
Pasal 29
(1) Usaha
perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia hanya boleh
dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia.
(2) Pengecualian
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang
atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang
hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan
persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Pasal 30
(1) Pemberian
surat izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang
beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian perikanan, pengaturan
akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan
pemerintah negara bendera kapal.
(2) Perjanjian
perikanan yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah
negara bendera kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mencantumkan
kewajiban pemerintah negara bendera kapal untuk bertanggung jawab atas
kepatuhan orang atau badan hukum negara bendera kapal untuk mematuhi perjanjian
perikanan tersebut.
(3) Pemerintah
menetapkan pengaturan mengenai pemberian izin usaha perikanan kepada orang
dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI, perjanjian perikanan,
pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia
dan pemerintah negara bendera kapal.
Pasal 31
(1) Setiap
kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi SIPI.
(2) Setiap
kapal perikanan yang dipergunakan untuk mengangkut ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi SIKPI.
Pasal 32
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat-syarat pemberian SIUP, SIPI, dan
SIKPI diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 33
Ketentuan
lebih lanjut mengenai penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang bukan untuk tujuan komersial
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal
34
(1) Kapal perikanan berdasarkan
fungsinya meliputi:
a. kapal penangkap ikan;
b. kapal pengangkut ikan;
c. kapal pengolah ikan;
d. kapal latih perikanan;
e. kapal penelitian/eksplorasi perikanan; dan
f.
kapal pendukung operasi
penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
35
(1)
Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau
memodifikasi kapal perikanan wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri.
(2) Pembangunan
atau modifikasi kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, setelah mendapat pertimbangan
teknis laik berlayar dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayaran.
Pasal
36
(1) Kapal perikanan milik orang Indonesia yang
dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib
didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia.
(2)
Pendaftaran
kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen
yang berupa:
a.
bukti kepemilikan;
b.
identitas pemilik; dan
c.
surat
ukur.
(3) Pendaftaran
kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh dari luar negeri dan sudah terdaftar
di negara asal untuk didaftar sebagai kapal perikanan Indonesia, selain
dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus dilengkapi pula dengan surat keterangan penghapusan dari daftar kapal
yang diterbitkan oleh negara asal.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
(5) Kapal
perikanan yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan
surat tanda kebangsaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal
37
Setiap
kapal perikanan Indonesia diberi tanda pengenal kapal perikanan berupa
tanda selar, tanda daerah penangkapan ikan, tanda jalur
penangkapan ikan, dan/atau tanda alat penangkapan ikan.
Pasal 38
(1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang
tidak memiliki izin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam
palka.
(2) Setiap
kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki
izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada
bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa alat penangkapan ikan
lainnya.
(3) Setiap
kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan
wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar
daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia.
Pasal 39
Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dengan ukuran dan jenis
tertentu dimungkinkan menggunakan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan yang
diizinkan secara bergantian berdasarkan musim dan daerah operasi penangkapan.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai membangun, mengimpor, memodifikasi kapal, pendaftaran, pengukuran kapal perikanan, pemberian tanda pengenal kapal perikanan, serta penggunaan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan secara bergantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 41
(1) Pemerintah
menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan.
(2) Menteri
menetapkan:
a. rencana
induk pelabuhan perikanan secara nasional;
b. klasifikasi
pelabuhan perikanan dan suatu tempat yang merupakan bagian perairan dan daratan
tertentu yang menjadi wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan
perikanan;
c. persyaratan
dan/atau standar teknis dan akreditasi kompetensi dalam perencanaan,
pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan pelabuhan perikanan;
d. wilayah
kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan; dan
e. pelabuhan
perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah.
(3) Setiap
kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan
di pelabuhan perikanan yang ditetapkan.
(4) Setiap
orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/atau kapal
pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muat ikan
tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau
pencabutan izin.
Pasal 42
(1)
Dalam rangka keselamatan pelayaran, ditunjuk syahbandar di
pelabuhan perikanan.
(2)
Setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan
wajib memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh
syahbandar.
(3)
Selain menerbitkan surat izin berlayar, syahbandar di pelabuhan perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan lain, yakni:
a. memeriksa ulang kelengkapan dan keabsahan dokumen kapal perikanan; dan
b. memeriksa
ulang alat penangkapan ikan yang ada di kapal perikanan.
(4)
Syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Menteri.
Pasal 43
Setiap kapal perikanan yang akan
melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan
dari pengawas perikanan.
Pasal 44
(1) Surat izin
berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dikeluarkan oleh
syahbandar setelah kapal perikanan mendapatkan surat laik operasi.
(2) Surat laik operasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh pengawas perikanan setelah dipenuhi
persyaratan administrasi dan kelayakan teknis.
(3)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai persyaratan administrasi dan kelayakan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 45
Dalam hal kapal perikanan berada dan/atau berpangkalan di luar
pelabuhan perikanan, surat izin berlayar diterbitkan oleh syahbandar setempat
setelah diperoleh surat laik operasi dari pengawas perikanan yang ditugaskan
pada pelabuhan setempat.
BAB VI
SISTEM INFORMASI
DAN DATA STATISTIK PERIKANAN
Pasal 46
(1) Pemerintah
menyusun dan mengembangkan sistem informasi dan data statistik perikanan serta
menyelenggarakan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyimpanan, penyajian, dan
penyebaran data potensi, sarana dan prasarana, produksi, penanganan, pengolahan
dan pemasaran ikan, serta data sosial ekonomi yang terkait dengan pelaksanaan
pengelolaan sumber daya ikan dan pengembangan sistem bisnis perikanan.
(2) Pemerintah
mengadakan pusat data dan informasi perikanan untuk menyelenggarakan sistem
informasi dan data statistik perikanan.
Pasal 47
(1) Pemerintah
membangun jaringan informasi perikanan dengan lembaga lain, baik di dalam
maupun di luar negeri.
(2) Sistem
informasi dan data statistik perikanan harus dapat diakses dengan
mudah dan cepat oleh seluruh pengguna data statistik dan informasi
perikanan.
BAB VII
PUNGUTAN PERIKANAN
Pasal 48
(1) Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan
lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dikenakan
pungutan perikanan.
(2)
Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil.
Pasal 49
Setiap orang asing yang mendapat izin
penangkapan ikan di ZEEI dikenakan pungutan perikanan.
Pasal 50
Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 dan Pasal 49 dipergunakan untuk pembangunan perikanan serta kegiatan
pelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.
Pasal 51
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pungutan perikanan dan penggunaan pungutan perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN PERIKANAN
Pasal 52
Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau menyelenggarakan penelitian
dan pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang
dibutuhkan dalam pengembangan usaha perikanan agar lebih efektif, efisien,
ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi/
budaya lokal.
Pasal 53
(1) Penelitian dan pengembangan perikanan dapat dilaksanakan oleh
perorangan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan/atau lembaga
penelitian dan pengembangan milik pemerintah dan/atau swasta.
(2) Perorangan,
perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan/atau lembaga penelitian dan
pengembangan milik pemerintah dan/atau swasta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan:
a.
pelaksana penelitian dan pengembangan;
b.
pelaku usaha perikanan;
c.
asosiasi perikanan; dan/atau
d.
lembaga penelitian dan pengembangan milik asing.
Pasal 54
Hasil
penelitian bersifat terbuka untuk semua pihak, kecuali hasil penelitian
tertentu yang oleh Pemerintah dinyatakan tidak untuk dipublikasikan.
Pasal 55
(1) Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib terlebih dahulu memperoleh izin
dari Pemerintah.
(2)
Penelitian yang dilakukan oleh orang asing dan/atau
badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikutsertakan
peneliti Indonesia.
(3)
Setiap orang asing yang melakukan
penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia harus
menyerahkan hasil penelitiannya kepada Pemerintah.
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
penelitian dan pengembangan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52,
Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENDIDIKAN,
PELATIHAN, DAN PENYULUHAN PERIKANAN
Pasal 57
(1) Pemerintah
menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan untuk
meningkatkan pengembangan sumber daya manusia di bidang perikanan.
(2)
Pemerintah menyelenggarakan sekurang-kurangnya 1
(satu) satuan pendidikan dan/atau pelatihan perikanan untuk dikembangkan
menjadi satuan pendidikan dan/atau pelatihan yang bertaraf internasional.
Pasal 58
Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga terkait, baik di tingkat
nasional maupun di tingkat internasional, dalam menyelenggarakan pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan perikanan.
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 dan Pasal 58 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PEMBERDAYAAN
NELAYAN KECIL DAN
PEMBUDI DAYA-IKAN
KECIL
Pasal 60
(1) Pemerintah
memberdayakan nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil melalui:
a. penyediaan
skim kredit bagi nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil, baik untuk modal
usaha maupun biaya operasional dengan cara yang mudah, bunga pinjaman yang
rendah, dan sesuai dengan kemampuan nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil;
b. penyelenggaraan
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi nelayan kecil serta pembudi daya-ikan
kecil untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, pengolahan, dan pemasaran ikan; dan
c.
penumbuhkembangan kelompok nelayan kecil, kelompok
pembudi daya-ikan kecil, dan koperasi perikanan.
(2) Pemberdayaan
nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat juga dilakukan oleh masyarakat.
Pasal 61
(1) Nelayan
kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia.
(2) Pembudi
daya-ikan kecil dapat membudidayakan komoditas ikan pilihan di seluruh wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
(3) Nelayan
kecil dan pembudi daya-ikan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) wajib menaati ketentuan konservasi dan ketentuan lain yang ditetapkan oleh
Menteri.
(4) Nelayan
kecil atau pembudi daya-ikan kecil harus ikut serta menjaga kelestarian
lingkungan perikanan dan keamanan pangan hasil perikanan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
(5) Nelayan
kecil dan pembudi daya-ikan kecil harus mendaftarkan diri, usaha, dan
kegiatannya kepada instansi perikanan setempat, tanpa dikenakan biaya, yang
dilakukan untuk keperluan statistik serta pemberdayaan nelayan kecil dan
pembudi daya-ikan kecil.
Pasal 62
Pemerintah
menyediakan dan mengusahakan dana untuk memberdayakan nelayan kecil dan pembudi
daya-ikan kecil, baik dari sumber dalam negeri maupun sumber luar negeri,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 63
Pengusaha
perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan kelompok
nelayan kecil atau pembudi daya-ikan kecil dalam kegiatan usaha perikanan.
Pasal 64
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pemberdayaan nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
PENYERAHAN URUSAN
DAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 65
(1) Penyerahan
sebagian urusan perikanan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dan
penarikannya kembali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pemerintah
dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan tugas
pembantuan di bidang perikanan.
BAB XII
PENGAWASAN
PERIKANAN
Pasal 66
(1) Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan.
(2) Pengawas perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan
peraturan perundang-undangan di bidang perikanan.
(3) Pengawas perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penyidik pegawai negeri sipil
perikanan dan nonpenyidik pegawai negeri sipil perikanan.
Pasal 67
Masyarakat dapat diikutsertakan dalam membantu pengawasan perikanan.
Pasal 68
Pemerintah mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan.
Pasal 69
(1) Pengawas
perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1), dalam melaksanakan
tugas dapat dilengkapi dengan senjata api dan/atau alat pengaman diri lainnya
serta didukung dengan kapal pengawas perikanan.
(2)
Kapal
pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berfungsi melaksanakan
pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan.
(3)
Kapal
pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal
yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih
lanjut.
(4)
Kapal
pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilengkapi dengan
senjata api.
Pasal 70
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengawasan perikanan, keikutsertaan masyarakat dalam
membantu pengawasan perikanan, kapal pengawas perikanan, senjata api, dan/atau
alat pengaman diri lainnya, yang digunakan oleh pengawas perikanan dan/atau
yang dipasang di atas kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (4), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PENGADILAN PERIKANAN
Pasal 71
(1)
Dengan
Undang-Undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.
(2)
Pengadilan
perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di lingkungan peradilan
umum.
(3)
Untuk
pertama kali pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk
di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.
(4)
Daerah
hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan
daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
(5)
Pengadilan
perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lambat 2 (dua) tahun
terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku, sudah melaksanakan
tugas dan fungsinya.
(6)
Pembentukan
pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
BAB XIV
PENYIDIKAN,
PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG
PENGADILAN PERIKANAN
Bagian Kesatu
Penyidikan
Pasal 72
Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 73
(1)
Penyidikan
tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(2)
Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi.
(3)
Untuk
melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan,
Menteri dapat membentuk forum koordinasi.
(4)
Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.
menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang
perikanan;
b.
memanggil
dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;
c.
membawa
dan menghadapkan seorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar
keterangannya;
d.
menggeledah
sarana dan prasarana perikanan yang diduga dipergunakan dalam atau menjadi
tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
e.
menghentikan,
memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang
disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
f.
memeriksa
kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;
g.
memotret
tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan;
h.
mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang
perikanan;
i.
membuat
dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
j.
melakukan
penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana;
k.
melakukan
penghentian penyidikan; dan
l.
mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(5)
Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum.
(6)
Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20 (dua
puluh) hari.
(7)
Jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), apabila diperlukan untuk kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling
lama 10 (sepuluh) hari.
(8)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak menutup kemungkinan
tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(9)
Setelah
waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan
tersangka dari tahanan demi hukum.
Bagian Kedua
Penuntutan
Pasal 74
Penuntutan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 75
(1)
Penuntutan
terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang
ditetapkan oleh Jaksa Agung dan/atau pejabat yang ditunjuk.
(2)
Penuntut
umum perkara tindak pidana di bidang perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
berpengalaman
menjadi penuntut umum sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun;
b.
telah
mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan; dan
c.
cakap
dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b pelaksanaannya
harus sudah diterapkan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 76
(1)
Penuntut
umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik wajib memberitahukan hasil
penelitiannya kepada penyidik dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal
diterimanya berkas penyidikan.
(2)
Dalam
hal hasil penyidikan yang disampaikan tidak lengkap, penuntut umum harus
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik yang disertai petunjuk tentang
hal-hal yang harus dilengkapi.
(3)
Dalam
waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas,
penyidik harus menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut
umum.
(4)
Penyidikan
dianggap telah selesai apabila dalam waktu 5 (lima) hari penuntut umum tidak
mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut
berakhir sudah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada
penyidik.
(5)
Dalam
hal penuntut umum menyatakan hasil penyidikan tersebut lengkap dalam waktu
paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas dari
penyidik dinyatakan lengkap, penuntut umum harus melimpahkan perkara tersebut
kepada pengadilan perikanan.
(6)
Untuk
kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan selama 10 (sepuluh) hari.
(7)
Jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri
yang berwenang paling lama 10 (sepuluh) hari.
(8)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak menutup kemungkinan
tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 77
Pemeriksaan di
sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 78
(1) Hakim pengadilan perikanan terdiri
atas hakim karier dan hakim ad hoc.
(2) Susunan majelis hakim terdiri atas 2
(dua) hakim ad hoc dan 1 (satu) hakim karier.
(3) Hakim karier sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
(4) Hakim ad hoc sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 79
Pemeriksaan di sidang pengadilan
dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.
Pasal 80
(1)
Dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan
pelimpahan perkara dari penuntut umum, hakim harus sudah menjatuhkan putusan.
(2)
Putusan
perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh hakim tanpa
kehadiran terdakwa.
Pasal 81
(1) Untuk
kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan berwenang menetapkan
penahanan selama 20 (dua puluh) hari.
(2) Jangka
waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
Pasal 82
(1)
Dalam
hal putusan pengadilan dimohonkan banding ke pengadilan tinggi, perkara
tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi.
(2)
Untuk
kepentigan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan tinggi berwenang menetapkan
penahanan selama 20 (dua puluh) hari.
(3)
Jangka
waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua
Pengadilan Tinggi yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari.
(4)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak menutup kemungkinan
terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
Pasal 83
(1) Dalam hal putusan pengadilan tinggi
dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim
di sidang Mahkamah Agung berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh)
hari.
(3) Jangka waktu penahanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), apabila perlukan guna kepentingan pemeriksaan yang
belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 10
(sepuluh) hari.
(4)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3), tidak menutup kemungkinan terdakwa
dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 84
(1) Setiap
orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan
yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak
Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
(2) Nakhoda
atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang
dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,
alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua
ratus juta rupiah).
(3) Pemilik
kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan
perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,
dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber
daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(4) Pemilik
perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan,
dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja
melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat
merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 85
Setiap
orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan
dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang
tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak
sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat
tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 86
(1) Setiap
orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber
daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap
orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
(3) Setiap
orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya
ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar
lima ratus juta rupiah).
(4) Setiap
orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber
daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 87
(1) Setiap orang yang dengan sengaja
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang
berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang karena
kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan
rusaknya plasma nutfah yang
berkaitan dengan sumber
daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 88
Setiap
orang yang dengan sengaja memasukkan, megeluarkan, mengadakan, mengedarkan,
dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber
daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
Pasal 89
Setiap
orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan
tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu,
dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 90
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau
hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak
dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 91
Setiap
orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan
penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan
dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
Pasal 92
Setiap
orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan,
pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan)
tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
Pasal 93
(1) Setiap
orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap
orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Pasal 94
Setiap
orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau
kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
Pasal 95
Setiap
orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak
mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 96
Setiap orang yang mengoperasikan
kapal perikanan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal
97
(1)
Nakhoda yang mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang
selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak
menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(2) Nakhoda
yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki
izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada
bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3)
Nakhoda yang mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan
ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama
berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (3), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal
98
Nakhoda
yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang
dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal
99
Setiap
orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 100
Setiap
orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (2) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 101
Dalam hal
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86,
Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94,
Pasal 95, dan Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya
dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga)
dari pidana yang dijatuhkan.
Pasal 102
Ketentuan
tentang pidana penjara dalam Undang-Undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana
di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah
ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara
yang bersangkutan.
Pasal 103
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86,
Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan pasal 94 adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96,
Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100 adalah pelanggaran.
Pasal 104
(1)
Permohonan
untuk membebaskan kapal dan/atau orang yang ditangkap karena melakukan tindak
pidana di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada
keputusan dari pengadilan perikanan dengan menyerahkan sejumlah uang jaminan
yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh pengadilan perikanan.
(2)
Benda
dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak
pidana perikanan dapat dirampas untuk negara.
Pasal 105
(1)
Benda
dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 104 dilelang untuk negara.
(2)
Kepada
aparat penegak hukum yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dan
pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang.
(3)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pemberian insentif diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 106
Selama
belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), perkara tindak pidana di bidang perikanan
yang terjadi di luar daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (3) tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan
negeri yang berwenang.
Pasal 107
Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan bagi perkara tindak pidana di
bidang perikanan yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri
dilakukan sesuai dengan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 108
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang
terjadi di daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
71 ayat (3) yang masih dalam tahap penyidikan atau penuntutan tetap
diberlakukan hukum acara yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang ini;
b. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang
terjadi di daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
71 ayat (3) yang sudah diperiksa tetapi belum diputus oleh pengadilan negeri
tetap diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri yang bersangkutan sesuai
dengan hukum acara yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang ini; dan
c. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang
terjadi di daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
71 ayat (3) yang sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri tetapi belum mulai
diperiksa dilimpahkan kepada pengadilan perikanan yang berwenang.
Pasal 109
Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1985 tentang Perikanan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 110
Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3299); dan
b. ketentuan
tentang pidana denda dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983
tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260)
khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perikanan,
dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 111
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada
tanggal 6 Oktober 2004
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 118
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
31 TAHUN 2004
TENTANG
PERIKANAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta
kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya
ikan, baik untuk kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus
meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya
bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip
kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan
perikanan nasional.
Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum
atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut
Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the
Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk
melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona
ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan
persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
Perikanan mempunyai peranan yang
penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam
meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan
taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan
pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara
lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang
Perikanan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan
saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi
perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber
daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode
pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern, sehingga
pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan
asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan,
efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.
Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan
secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan
dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara
berdaya guna dan berhasil guna.
Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat
penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara
terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan
perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya
kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam
Undang-Undang ini lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap
penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian
perlu diatur secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan
hakim dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, di samping mengikuti hukum acara yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai
ketentuan khusus (lex specialis). Penegakan hukum terhadap tindak pidana
di bidang perikanan yang terjadi selama ini terbukti mengalami berbagai
hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat spesifik
yang menyangkut hukum materiil dan hukum formil. Untuk
menjamin kepastian hukum,
baik di tingkat
penyidikan, penuntutan, maupun di tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan,
ditentukan jangka waktu secara tegas, sehingga dalam Undang-Undang ini rumusan
mengenai hukum acara (formil) bersifat lebih cepat.
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum
terhadap tindak pidana di bidang perikanan, maka dalam Undang-Undang ini diatur
mengenai pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan peradilan umum, yang
untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Utara,
Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Namun demikian, mengingat masih diperlukan
persiapan maka pengadilan perikanan yang telah dibentuk tersebut, baru
melaksanakan tugas dan fungsinya paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak
tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku. Pengadilan perikanan tersebut bertugas
dan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang
perikanan yang dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang
hakim karier pengadilan negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc.
Mengingat perkembangan perikanan saat
ini dan yang akan datang, maka Undang-Undang ini mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan:
a. pengelolaan perikanan dilakukan
berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan,
keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan;
b. pengelolaan perikanan wajib
didasarkan pada prinsip perencanaan dan keterpaduan pengendaliannya;
c. pengelolaan perikanan dilakukan
dengan memperhatikan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah;
d. pengelolaan perikanan yang memenuhi
unsur pembangunan yang berkesinambungan, yang didukung dengan penelitian dan
pengembangan perikanan serta pengendalian yang terpadu;
e. pengelolaan perikanan dengan
meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan di bidang perikanan;
f. pengelolaan perikanan yang didukung
dengan sarana dan prasarana perikanan serta sistim informasi dan data statistik
perikanan;
g. penguatan kelembagaan di bidang
pelabuhan perikanan, kesyahbandaran perikanan, dan kapal perikanan;
h. pengelolaan perikanan yang didorong
untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan kelautan dan perikanan;
i. pengelolaan perikanan dengan tetap
memperhatikan dan memberdayakan nelayan kecil atau pembudi daya-ikan kecil;
j. pengelolaan perikanan yang dilakukan
di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, dan laut lepas yang
ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan tetap memperhatikan
persyaratan atau standar internasional yang berlaku;
k. pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya ikan, baik yang berada di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif
Indonesia, maupun laut lepas dilakukan pengendalian melalui pembinaan perizinan
dengan memperhatikan kepentingan nasional dan internasional sesuai dengan
kemampuan sumber daya ikan yang tersedia;
l. pengawasan perikanan;
m. pemberian kewenangan yang sama dalam
penyidikan tindak pidana di bidang perikanan kepada penyidik pegawai negeri
sipil perikanan, perwira TNI-AL dan pejabat polisi negara Republik Indonesia;
n. pembentukan pengadilan perikanan; dan
o. pembentukan dewan pertimbangan
pembangunan perikanan nasional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang-undang ini
merupakan pembaharuan dan penyempurnaan pengaturan di bidang perikanan sebagai
pengganti Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
Pasal
1
Cukup jelas
Pasal
2
Cukup jelas
Pasal
3
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hukum adat dan/atau kearifan lokal yang dijadikan
pertimbangan dalam pengelolaan perikanan adalah yang tidak bertentangan dengan
hukum nasional.
Pasal
7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “potensi dan
alokasi sumber daya ikan” adalah termasuk juga ikan yang beruaya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jumlah tangkapan yang diperbolehkan”
adalah banyaknya sumber daya ikan yang boleh ditangkap di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia dengan tetap memperhatikan kelestariannya sehingga
diperlukan adanya data dan informasi yang akurat tentang ketersediaan sumber
daya ikan yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun secara
faktual setiap daerah penangkapan. Di samping itu, pelaksanaan penerapan
prinsip jumlah tangkapan yang diperbolehkan wajib memperhatikan kewajiban
internasional di bidang perikanan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan “potensi dan alokasi induk dan benih
ikan tertentu” adalah induk dan benih ikan tertentu yang ditangkap dari alam.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “ukuran alat penangkapan” adalah
termasuk juga ukuran mata jaring.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “alat bantu penangkapan” adalah
sarana, perlengkapan, atau benda lain yang dipergunakan untuk membantu dalam
rangka efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan, seperti lampu, rumpon, dan
terumbu karang buatan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “waktu atau musim penangkapan” adalah
penetapan pembukaan dan penutupan area atau musim penangkapan untuk memberi
kesempatan bagi pemulihan sumber daya ikan dan lingkungannya.
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Yang dimaksud dengan “sistem pemantauan kapal perikanan”
adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan ikan, yang
menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan.
Contoh: sistem pemantauan kapal perikanan (vessel
monitoring system/VMS).
Huruf k
Dalam usaha meningkatkan produktivitas suatu perairan dapat
dilakukan penebaran ikan jenis baru, yang kemungkinan menimbulkan efek negatif
bagi kelestarian sumber daya ikan setempat sehingga perlu dipertimbangkan agar
penebaran ikan jenis baru dapat beradaptasi dengan lingkungan sumber daya ikan
setempat dan/atau tidak merusak keaslian sumber daya ikan.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “penangkapan ikan berbasis budi daya”
adalah penangkapan sumber daya ikan yang berkembang biak dari hasil penebaran
kembali.
Huruf m
Sesuai dengan perkembangan teknologi, pembudidayaan ikan
tidak lagi terbatas di kolam atau tambak, tetapi dilakukan pula di sungai,
danau, dan laut. Karena perairan ini menyangkut kepentingan umum, perlu adanya
penetapan lokasi dan luas daerah serta cara yang dipergunakan agar tidak
mengganggu kepentingan umum. Di samping itu, perlu ditetapkan ketentuan yang
bertujuan melindungi pembudidayaan tersebut, misalnya, pencemaran lingkungan
sumber daya ikan.
Huruf n
Cukup jelas
Huruf o
Ada beberapa cara
yang dapat ditempuh dalam melaksanakan rehabilitasi
dan peningkatan sumber daya ikan dan lingkungannya, antara lain, dengan
penanaman atau reboisasi hutan bakau, pemasangan terumbu karang buatan,
pembuatan tempat berlindung/berkembang biak ikan, peningkatan kesuburan
perairan dengan jalan pemupukan atau penambahan jenis makanan, pembuatan
saluran ruaya ikan, atau pengerukan dasar perairan.
Huruf p
Cukup jelas
Huruf q
Yang dimaksud
dengan “suaka perikanan” adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar,
payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat
berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi
sebagai daerah perlindungan.
Huruf r
Penetapan wabah
dan wilayah wabah penyakit ikan bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa
dalam wilayah tertentu terjangkit wabah, dan Menteri menetapkan langkah-langkah
pencegahan terjadinya penyebaran wabah penyakit ikan dari satu wilayah ke
wilayah lainnya.
Huruf s
Cukup jelas
Huruf t
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “komisi nasional” adalah kelompok yang
melakukan pengkajian potensi sumber daya ikan yang terdiri atas pakar,
perguruan tinggi, dan instansi pemerintah terkait yang mempunyai keahlian di
bidang sumber daya ikan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “jenis ikan” adalah:
a.
pisces (ikan bersirip);
b.
crustacea
(udang, rajungan, kepiting,
dan sebangsanya);
c.
mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita,
siput, dan sebangsanya);
d.
coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya);
e.
echinodermata (tripang, bulu babi, dan
sebangsanya);
f.
amphibia
(kodok dan
sebangsanya);
g.
reptilia (buaya, penyu, kura-kura, biawak,
ular air, dan sebangsanya);
h.
mammalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung,
dan sebangsanya);
i.
algae
(rumput laut dan
tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air); dan
j.
biota
perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut di atas,
semuanya termasuk bagian-bagiannya dan
ikan yang dilindungi.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Penggunaan bahan
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan
yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan
lingkungannya tidak saja mematikan ikan secara langsung, tetapi dapat pula
membahayakan kesehatan manusia dan merugikan nelayan serta pembudi daya ikan.
Apabila terjadi kerusakan sebagai akibat penggunaan bahan dan alat dimaksud,
pengembalian ke dalam keadaan semula akan membutuhkan waktu yang lama, bahkan
mungkin mengakibatkan kepunahan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 9
Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan
dan/atau alat bantu penangkapan ikan diperlukan untuk menghindari adanya
penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang dapat merugikan kelestarian
sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal itu dilakukan mengingat wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan alat
penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta kenyataan
terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang sangat bervariasi,
menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan menjadi target penangkapan.
Larangan tersebut dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c dicantumkan dalam pemberian perizinan penangkapan dan merupakan satu
kesatuan dengan kapal yang akan digunakan untuk melakukan penangkapan.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “laut lepas yang
bersifat tertutup atau semi tertutup” adalah suatu teluk, lembah laut (basin),
atau laut yang dikelilingi oleh dua negara atau lebih, yang dihubungkan dengan
wilayah laut lainnya atau samudera, oleh suatu alur yang sempit atau yang
terdiri seluruhnya, atau terutama dari laut teritorial dan zona ekonomi
eksklusif dua negara pantai atau lebih.
Yang dimaksud dengan “wilayah kantong
(pocket area)” adalah laut lepas yang
dikelilingi oleh zona ekonomi eksklusif dari beberapa negara, misalnya di utara
Papua terdapat laut lepas yang dibatasi oleh ZEE Indonesia, ZEE Papua New
Guinea, ZEE Palau, dan ZEE Federation State of Micronesia.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Keanggotaan
Pemerintah dalam kerja sama regional dan internasional dilakukan secara
selektif.
Pasal 13
Ayat (1)
Kawasan
konservasi yang terkait dengan perikanan, antara lain, adalah terumbu karang,
padang lamun, bakau, rawa, danau, sungai, dan embung yang dianggap penting
untuk dilakukan konservasi. Dalam hal ini Pemerintah dapat melakukan penetapan
kawasan konservasi, antara lain, sebagai suaka alam perairan, taman nasional perairan,
taman wisata perairan, dan/atau suaka perikanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “plasma nutfah”
adalah substansi yang terdapat dalam kelompok makhluk hidup dan merupakan
sumber atau sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau
dirakit untuk menciptakan jenis unggul baru.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi
plasma nutfah yang ada agar tidak hilang, punah, atau rusak, di samping juga
untuk mellindungi ekosistem yang ada.
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan “ikan jenis baru”
adalah ikan yang bukan asli dan/atau tidak berasal dari alam darat dan laut
Indonesia yang dikenali dan/atau diketahui dimasukkan ke dalam wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia maupun ikan yang berasal dari hasil
pemuliaan baik dalam negeri maupun luar negeri.
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “calon induk ikan”
adalah ikan hasil seleksi yang dipersiapkan untuk dijadikan induk.
Yang dimaksud dengan “induk ikan” adalah ikan
pada umur dan ukuran tertentu yang telah dewasa dan digunakan untuk
menghasilkan benih, sedangkan benih ikan adalah ikan dalam umur, bentuk, dan
ukuran tertentu yang belum dewasa.
Untuk tujuan peningkatan produksi melalui perbaikan
mutu ikan dari hasil pembudidayaan, diperlukan jenis dan/atau varietas ikan
baru yang belum terdapat di dalam negeri. Namun, pemasukan ikan jenis baru dari
luar negeri dapat menjadi media pembawa bagi masuk dan tersebarnya hama dan
penyakit ikan berbahaya ke dalam negeri dan/atau dapat menjadi predator atau
kompetitor yang menyebabkan langkanya jenis ikan lokal. Oleh karena itu,
pemasukannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengaturan
pengeluaran jenis calon induk, induk, dan benih ikan dari wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk menjamin pembudidayaan ikan jenis
baru tersebut secara berkelanjutan.
Pasal
16
Larangan ini dimaksudkan untuk melindungi
sumber daya ikan yang dimiliki agar tidak hilang atau punah, terutama ikan asli
Indonesia (indigenous species), juga
dimaksudkan untuk melindungi ekosistem asli alam Indonesia.
Cukup jelas
Pasal 17
Pasal 18
Ayat (1)
Setiap jenis ikan
yang dibudidayakan memerlukan persyaratan teknis dan tingkat teknologi yang
berbeda. Oleh karena itu, diperlukan tata pemanfaatan air dan lahan
pembudidayaan ikan sehingga distribusi dan pemanfaatan air dapat dilakukan
secara maksimal, sesuai dengan kebutuhan teknis pembudidayaan ikan serta dapat
dihindari penggunaan lahan yang dapat merugikan pembudidayaan ikan, termasuk
ketersediaan sabuk hijau (greenbelt).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Yang
dimaksud dengan “pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya” adalah upaya
yang dilakukan dalam rangka menjaga dan memperbaiki keseimbangan antar faktor
lingkungan, ketahanan ikan, serta hama penyakit ikan dengan melakukan
pencegahan, pengobatan, dan pengaturan pemakaian obat ikan.
Cukup jelas
Pengelolaan kesehatan ikan dan
lingkungannya harus dilakukan secara bersama-sama, baik oleh pemerintah maupun
pihak terkait dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam
mengenali hama dan penyakit ikan, identifikasi, pencegahan, penanggulangan dan
pengendalian kesehatan ikan, serta permasalahan lingkungan pembudidayaan.
Cukup jelas
Pasal 20
Yang dimaksud dengan “pengolahan ikan”
adalah rangkaian kegiatan dan/ atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai
menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia.
Yang dimaksud dengan “produk perikanan”
adalah setiap bentuk produk pangan yang berupa ikan utuh atau produk yang
mengandung bagian ikan, termasuk produk yang sudah diolah dengan cara apapun
yang berbahan baku utama ikan.
Yang dimaksud dengan “kelayakan
pengolahan” adalah suatu kondisi yang memenuhi prinsip dasar pengolahan, yang
meliputi konstruksi, tata letak, sanitasi, higiene, seleksi bahan baku, dan
teknik pengolahan.
Yang dimaksud dengan “sistem jaminan mutu dan
keamanan” adalah upaya pencegahan yang harus diperhatikan dan dilakukan sejak
praproduksi sampai dengan pendistribusian untuk menghasilkan hasil perikanan
yang bermutu dan aman bagi kesehatan manusia.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengawasan dan
pengendalian mutu” adalah semua kegiatan menilai, memeriksa, memantau,
mengambil contoh, menguji, melakukan koreksi, memvalidasi, mengaudit,
memverifikasi, dan mengkalibrasi, dalam rangka memberikan jaminan mutu dan
keamanan hasil perikanan.
Huruf b
Standar mutu
meliputi, antara lain, ukuran, jumlah, rupa, spesifikasi produk perikanan, dan
hasil pengolahan ikan.
Huruf c
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan “penanganan” adalah
suatu rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan terhadap ikan tanpa mengubah
struktur dan bentuk dasar.
Cukup jelas
Cukup jelas
Untuk menjamin hak konsumen ikan dan
produk perikanan, produk harus aman, sehat, dan tidak kadaluarsa.
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 21
Yang dimaksud dengan "sertifikat
kesehatan untuk konsumsi manusia” adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh
laboratorium yang ditunjuk oleh pemerintah yang menyatakan bahwa ikan dan hasil
perikanan telah memenuhi persyaratan jaminan mutu dan keamanan untuk konsumsi
manusia.
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal
24
Cukup jelas
Pasal
25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
SIKPI sebagaimana dimaksud dalam pasal ini adalah SIKPI asli
dan bukan foto copy dan/atau salinan yang mirip dengan SIKPI asli.
Ayat (2)
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal
31
Ayat (1)
SIPI sebagaimana dimaksud dalam pasal ini adalah SIPI asli dan
bukan foto copy dan/atau salinan yang mirip dengan SIPI asli.
Pasal
32
Cukup jelas
Pasal 33
Yang dimaksud dengan “penangkapan ikan
dan/atau pembudidayaan ikan yang bukan untuk tujuan komersial” adalah kegiatan
yang dilakukan oleh perorangan atau lembaga Pemerintah atau lembaga swasta
dalam rangka pendidikan, penyuluhan, penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya,
kesenangan, dan/atau wisata.
Pasal
34
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Dalam
rangka pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan, penataan dan pengendalian
terhadap pengadaan kapal baru dan/atau bekas perlu dikendalikan agar sesuai
dengan daya dukung sumber daya ikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Pendaftaran kapal perikanan dimuat di
dalam buku kapal perikanan yang dipergunakan untuk memenuhi persyaratan
penerbitan SIPI/SIKPI. Buku kapal perikanan dimaksud bukan sebagai gros akte
pendaftaran kapal yang merupakan persyaratan untuk menerbitkan Surat Tanda
Kebangsaan Kapal Indonesia, bagi kapal-kapal yang mengibarkan bendera Indonesia
sebagai bendera kebangsaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Kapal perikanan yang akan diproses
penerbitan surat tanda kebangsaan terlebih dahulu didaftarkan di dalam buku
kapal perikanan.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan “tanda pengenal kapal
perikanan” adalah tanda atau notasi, antara lain, identitas tentang jenis
kapal, ukuran kapal, daerah penangkapan, dan nomor registrasi tempat kapal
tercatat sebagai kapal perikanan.
Pasal 38
Kewajiban menyimpan alat penangkapan ikan
di dalam palka diberlakukan bagi setiap kapal perikanan berbendera asing yang
melintasi perairan Indonesia, alur laut kepulauan Indonesia (ALKI), dan ZEEI.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “kapal perikanan dengan
ukuran dan jenis tertentu” adalah kapal yang dipergunakan oleh nelayan kecil.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal
41
Ayat (1)
Dalam rangka
pengembangan perikanan, Pemerintah membangun dan membina pelabuhan perikanan
yang berfungsi, antara lain, sebagai tempat tambat-labuh kapal perikanan,
tempat pendaratan ikan, tempat pemasaran dan distribusi ikan, tempat
pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan, tempat pengumpulan data tangkapan,
tempat pelaksanaan penyuluhan serta pengembangan masyarakat nelayan, dan tempat
untuk memperlancar kegiatan operasional kapal perikanan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup
jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Untuk mendukung
dan menjamin kelancaran operasional pelabuhan perikanan, ditetapkan batas-batas
wilayah kerja dan pengoperasian dalam koordinat geografis.
Dalam hal wilayah
kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan berbatasan dan/atau mempunyai
kesamaan kepentingan dengan instansi lain, penetapan batasnya dilakukan melalui
koordinasi dengan instansi yang bersangkutan.
Huruf e
Pihak swasta dapat membangun pelabuhan
perikanan atas persetujuan Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “bongkar muat ikan”
adalah termasuk juga pendaratan ikan.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Syahbandar
yang akan diangkat oleh Menteri harus terlebih dahulu mengikuti pendidikan dan
pelatihan kesyahbandaran yang dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab
di bidang kesyahbandaraan.
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Kapal perikanan yang berlayar tidak dari
pelabuhan perikanan termasuk dari pelabuhan yang dibangun pihak swasta hanya
dimungkinkan apabila di tempat tersebut tidak ada pelabuhan perikanan.
Termasuk kapal perikanan yang berlayar tidak
dari pelabuhan perikanan di antaranya kapal-kapal yang berlayar dari pelabuhan
tangkahan, pelabuhan rakyat, dan pelabuhan lainnya wajib memperoleh SLO dari
pengawas perikanan.
Ketentuan ini hanya dimungkinkan berlaku bagi
kapal perikanan yang pada daerah tersebut memang tidak ada pelabuhan perikanan
dan/atau pelabuhan umum, dan fasilitas lainnya. Dalam hubungan ini, maka surat
izin berlayar dimungkinkan untuk diterbitkan oleh syahbandar setempat.
Pasal 46
Dalam rangka penyusunan rencana
pengembangan sistem informasi dan data statistik perikanan serta penilaian
kemajuannya, diperlukan data teknik, produksi, pengolahan, pemasaran ikan,
serta sosial ekonomi yang dapat memberikan gambaran yang benar tentang tingkat
pemanfaatan sumber daya ikan yang tersedia.
Data dan informasi tersebut, antara lain:
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal
48
Ayat (1)
Kepada
setiap orang yang berusaha di bidang penangkapan atau pembudidayaan ikan yang
dilakukan di laut atau di perairan lainnya di dalam wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan karena mereka ini
telah memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.
Ayat (2)
Cukup
jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal
52
Ketentuan
mengenai penelitian dan pengembangan dimaksudkan untuk dapat mengungkapkan
segala permasalahan yang mendasar mengenai sumber daya ikan dan lingkungannya
serta teknologi yang berkaitan dengan perikanan tangkap, budi daya, dan
pengolahan maupun masalah sosial ekonomi perikanan.
Pelaksanaan penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya harus ditujukan
untuk memperoleh informasi ilmiah tentang sumber daya ikan dan lingkungannya
serta sosial ekonomi perikanan, perbaikan teknologi ataupun teknologi baru di
bidang perikanan tangkap, budi daya, dan pengolahan perikanan yang dapat
dijadikan dasar di dalam menyusun kebijakan pengolahan sumber daya ikan dan
pengembangan perikanan.
Pasal 53
Ayat (1)
Penelitian dan pengembangan yang
dilaksanakan oleh lembaga penelitian dan pengembangan milik Pemerintah termasuk
juga penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan oleh lembaga pemerintah
nondepartemen, badan usaha milik negara (BUMN), dan/atau badan usaha milik
daerah (BUMD).
Ayat (2)
Dalam kaitan pelaksanaan penelitian dan
pengembangan di bidang perikanan sering dilakukan kerja sama antar negara. Hal
yang demikian dilakukan, antara lain, berhubungan dengan:
a.
karakteristik
sumber daya ikan yang tidak mengenal batas administrasi negara;
b.
tuntutan
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang perikanan;
c.
pelaksanaan
ketentuan dari perjanjian internasional; dan
d.
perkembangan
tuntutan konsumen terhadap jaminan keamanan dan mutu hasil perikanan.
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pendidikan dan/atau pelatihan yang
bertaraf internasional diselenggarakan oleh instansi Pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang perikanan pada semua jenjang, yakni pada unit
pelatihan, sekolah menengah kejuruan, dan perguruan tinggi, antara lain, sesuai
dengan bidang teknologi penangkapan, budi daya, pengolahan, permesinan, dan
penyuluhan.
Pasal 58
Yang dimaksud dengan “lembaga terkait” adalah
mencakup lembaga Pemerintah dan lembaga non-Pemerintah.
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota di
wilayah masing-masing ikut serta memberdayakan nelayan kecil dan pembudi
daya-ikan kecil.
Penumbuhkembangan kelompok nelayan kecil,
kelompok pembudi daya-ikan kecil sebagai sarana untuk memudahkan pemberdayaan
melalui kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “masyarakat” adalah
mencakup lembaga swadaya masyarakat.
Pasal
61
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “komoditas ikan
pilihan” adalah jenis ikan yang tidak dilarang oleh Pemerintah untuk
dibudidayakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “keamanan pangan
hasil perikanan” adalah kondisi atau upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari cemaran biologis, kimia, atau benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, termasuk menggunakan metode
penangkapan dan/atau pembudidayaan yang dapat merusak ekosistem dan kelestarian
lingkungan perikanan.
Ayat (5)
Pendaftaran diri, usaha, dan kegiatan bagi
nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil selain dilakukan oleh yang
bersangkutan, instansi yang bertanggung jawab di bidang perikanan juga secara
proaktif melakukan pendaftaran dalam rangka pengumpulan data dan informasi
untuk pembinaan usaha perikanan dan pengelolaan sumber daya ikan.
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Pengawas perikanan, antara lain:
a.
pengawas
penangkapan;
b.
pengawas
perbenihan;
c.
pengawas
budi daya;
d.
pengawas
hama dan penyakit ikan; dan
e.
pengawas
mutu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “nonpenyidik pegawai
negeri sipil perikanan” adalah pegawai negeri sipil lainnya di bidang perikanan
yang bukan sebagai penyidik, tetapi diberi kewenangan untuk melakukan
pengawasan.
Pasal 67
Keikutsertaan masyarakat dalam membantu
pengawasan perikanan misalnya dengan melaporkan kepada aparat penegak hukum
apabila terdapat dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perikanan.
Pasal 68
Dalam rangka pengawasan dan pembinaan, Pemerintah membangun,
menyediakan, dan/atau mengusahakan sarana dan prasarana pengawasan, yang antara
lain:
a. kapal pengawas perikanan;
b. sistem pemantauan kapal perikanan; dan
c. pangkalan/dermaga kapal pengawas perikanan.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kapal pengawas
perikanan” adalah kapal pemerintah yang diberi tanda-tanda tertentu untuk
melakukan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan.
Ayat (3)
Penahanan kapal dilakukan dalam rangka tindakan membawa kapal
ke pelabuhan terdekat dan/atau menunggu proses selanjutnya yang bersifat
sementara.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Koordinasi diperlukan selain untuk
kelancaran pelaksanaan tugas penyidik, juga dimaksudkan untuk memperlancar
komunikasi dan tukar-menukar data, informasi, serta hal lain yang diperlukan
dalam rangka efektivitas dan efisiensi penanganan dan/atau penyelesaian tindak
pidana perikanan.
Ayat (3)
Sesuai dengan kebutuhan, forum koordinasi
untuk penanganan tindak pidana di bidang perikanan dapat dibentuk di daerah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Pasal
74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hakim ad hoc”
adalah seseorang yang berasal dari lingkungan perikanan, antara lain, perguruan
tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan, dan mempunyai keahlian
di bidang hukum perikanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal
93
Cukup jelas
Pasal
94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup
jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal
103
Cukup jelas
Pasal 104
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan “sejumlah uang jaminan yang layak” adalah penetapan besar uang
jaminan yang ditentukan berdasarkan harga kapal, alat perlengkapan kapal dan
hasil dari kegiatannya, ditambah besarnya jumlah denda maksimum.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “benda dan/atau alat”, antara lain, alat penangkapan ikan, ikan
tangkapan, kapal yang digunakan untuk menangkap ikan dan/atau mengangkut ikan,
dan lain-lain.
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Yang dimaksud dengan “pengadilan negeri yang
berwenang” adalah pengadilan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 107
Cukup
jelas
Pasal 108
Cukup
jelas
Pasal 109
Cukup
jelas
Pasal 110
Cukup
jelas
Pasal 111
Cukup
jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4433